Total Tayangan Halaman

Rabu, 30 Maret 2011

Ulama haram terjun dalam dunia politik, benarkah?

dari Buletin Al-Munawwaroh Oleh: Agus Gunawan

Sebagai pengantar untuk menjelaskan masalah ini, kami akan memaparkan hubungan politik dan Islam. Islam adalah agama yang bersumber dari wahyu sedangkan politik adalah produk budaya. Politik dalam istilah kesarjanaan Islam dikenal dengan al-siyâsah, adapun definisi yang di berikan oleh Ibnu Aqîl adalah:

السياسة ما كان فعلا يكون معه الناس أقرب إلى الصلاح وأبعد عن الفساد وإن لم يضعه الرسول صلى الله عليه و سلم ولا نزل به وحي (ابن قيم الجوزية، الطرق الحكمية في السياسة الشرعية ، القاهرة :مطبعة المدني ، د.ع.)

Politik merupakan perkara yang menyeru (mengatur) manua untuk lebih dekat dengan kemaslahatan dan menjauhkan dari kemadaratan, politik ini tidak (ditetapkan secara pasti) oleh Rasulullah maupun Wahyu.

Jadi politik ini adalah murni ijtihadiyah umat yang sangat dipengaruhi oleh dimensi jaman yang melingkupinya. Negara Kesatuan Republik Indonesia mengacu pada system politik demokratis, sehingga pola pemerintahan dijalankan dengan model demokrasi namun masih sangat di pengaruhi oleh syariat Islam. Sehingga dengan system demokrasi ini sangat memungkinkan ulama menjadi pemimpin di negeri ini.

Masalah politik bagi ulama takarannya adalah masalah maslahah dan madarat, sehingga apabila ada ulama yang terjun dalam kekuasaan syah namun sebaliknya apabila mendatangkan madarat maka hal ini harus dihndari. Mengenai hal ini Imam al-Ghazali telah berkomentar dalam kitabnya al-Mustasfa:

أما المصلحة فهي عبارة في الأصل عن جلب منفعة أو دفع مضرة ولسنا نعني به ذلك فإن جلب المنفعة ودفع المضرة مقاصد الخلق وصلاح الخلق في تحصيل مقاصدهم لكنا نعني بالمصلحة المحافظة على مقصود الشرع ومقصود الشرع من الخلق خمسة وهو أن يحفظ عليهم دينهم ونفسهم وعقلهم ونسلهم ومالهم فكل ما يتضمن حفظ هذه الأصول الخمسة فهو مصلحة وكل ما يفوت هذه الأصول فهو مفسدة ودفعها مصلحة

Dari ketentuan maslahah yang dikemukakan oleh Imam al-Ghazali di atas, yakni al-maqâsid al-Syari’ah, maka apabila hal ini menjadi tujuan kepemimpinan seorang ulama dalam mengendalikan kekuasaannya, tentunya hal ini dibolehkan. Namun apabila kemadaratan yang muncul, maka sebaiknya ulama tidak memegang kekuasaan.

Jumat, 21 Januari 2011

DIKOTOMI MUTAWÂTIR ÂHÂD

Dilihat dari perspektif jumlah periwayatnya, hadis dibagi dalam dua katagori; (1) hadis mutawâtir, yaitu hadis yang memiliki beberapa jalur sanad yang jumlahnya tidak terbatas dengan bilangan tertentu;[1] (2) hadis âhâd, yaitu hadis yang memiliki jalur sanad terbatas dengan bilangan tertentu.

Hadis mutawâtir menunjukan pada pengetahuan yang sifatnya pasti (al-‘ilmu al-daruri), yaitu sesuatu yang meyakinkan.[2] Nilai kehujjahan hadis mutawâtir adalah qat’iyyah al-wurûd (dipastikan berasal dari sumber berita). Oleh karena itu, hadis mutawâtir seluruhnya diterima. Tidak diperlukan lagi pembahasan mengenai para perawinya. Sedangkan hadis âhâd menunjukan kepada pengetahuan yang sifatnya teoritis (al-‘ilmu al-nadari), yaitu pengetahuan yang tegak berdiri karena adanya teori dan dalil.[3]

Hemat penulis implikasi pengklasifikasian hadis mutawâtir-âhâd berimbas kepada pengambilan hukum ini sangat diskriminatif, karena pengklasifikasian mutawâtir-âhâd tujuannya adalah untuk megetahui seberapa banyak periwayat suatu hadis dalam setiap jenjang periwayatannya, sehingga dimisalkan tiap jenjangnya 10 orang dari periwayat pertama hingga periwayat terakhir dari sanad hadis maka dapat dipastikan hadis tersebut hadis mutawâtir dan hadis tersebut sahîh untuk diamalkan.

Syarat ‘adâlah dan dabt perawi hadis mutawâtir tidak harus dibuktikan agar dapat diterima riwayatnya, hadis mutawâtir bukanlah bagian dari ‘ilm al-isnâd, yang menguji kredebilitas perawi dan mendiskusikan kesahîhan hadis atau kelemahannya untuk diterima atau ditolak. Sebuah hadis mutawâtir hanya untuk diamalkan, sedang historisitasnya tidak perlu didiskusikan. Fuqahâ lebih berkepentingan dalam melihat mutawâtir-âhâd kepada implikasi hukum yang dihasilkan dari keduanya apakah bisa dijadikan hujjah atau tidak, sedangkan muhadditsîn lebih menitik beratkan kajian mutawâtir-âhâd menjadi kajian dalam ‘Ulum al-Hadîts mengenai implikasi hukum muhadditsîn punya bahasan tersendiri yaitu hadis sahîh, hasan, dan da’îf. [4]

Mayoritas fuqaha dengan mengecualikan Abdu al-Wahab Abu Ali al-Juba’i beserta mu’tazili lainnya, sepakat mengakui kehujjahan hadis âhâd dan menetapkan keharusan mempedomani ajarannya untuk dasar dalil syar’i. Persyaratan yang harus dipenuhi sangat bervariasi antar fuqahâ berbagai mazhab:

Hanabilah : Cukup dengan jaminan ke-sahîh-an sanad;

Syafi’iah : Jaminan sanad sahîh, baik terlepas perawi itu fâqih, ‘âlim atau tidak, yang penting perawi itu hafiz,dâbit dan hadisnya tidak kontroversi dengan hadis lain yang pendukung sanadnya para pakar hadis;

Mâlikiyah : Substansi hadis tidak bertentangan degan praktik keagamaan warga Madinah;

Hanafiah: Perilaku perawi harus sejalan dengan hadis yang ia riwayatkan, sebab data penyimpangan meng-indikasi-kan nasakh. Bila seorang rawi bukan seorang fâqih dan cara pengungkapan hadis dengan riwâyat bi al-ma’na, substansi hadisnya tidak menyalahi qiyas serta prinsif-prinsif syari’ah bukan sesuatu yang seharusnya terpublikasikan secara meluas atau hal yang rutin terjadi.[5]

Fuqahâ lebih berkepentingan dalam pengujian substansi matan mengacu pada pembentukan dalâlah qat’iyyah atau zanniyah. Matan hadis yang berstatus âhâd, periwayatannya berpotensi sebagai hujjah yang mendasari satu hal harus diamalkan, namun tidak dengan sendirinya membuahkan pengetahuan yang yakin. Potensi kehujjahan hadis âhâd harus diuji dengan dengan mengukur kadar ketertautan dalâlah-nya dengan dalil-dalil syara’ yang lain, baik dalil nas maupun dalil ijtihad.[6]

Hadis âhâd dilihat dari segi kuat lemahnya terbagi menjadi dua katagori: (1) hadis maqbul (dapat diterima), hadis yang dikuatkan kebenaran pembawa beritanya,[7] hukumnya wajib dijadikan hujjah dan diamalkan;[8] (2) hadis mardud (tertolak), hadis yang tidak dikuatkan kebenaran pembawa beritanya, hukumnya tidak wajib dijadikan hujjah dan tidak wajib diamalkan.[9]


[1] Syarat-syarat hadis mutawâtir; diriwayatkan oleh banyak rawi; jumlah bilangan rawi tersebut terdapat pada seluruh tingkatan sanad; menurut kebiasaan mustahil mereka sepakat untuk berdusta, lihat Mahmûd Tahan, Taisîr Mustalah al-Hadîts, (Kuwait: Markaz al-Hudâ li al-Dirâsat, 1415), h. 21.

[2] Dengan kata lain, manusia dipaksa untuk membenarkannya secara pasti, sama seperti ia menyaksikan perkara itu dengan mata kepalanya sendiri, sehingga bagaimana mungkin ia bisa memungkirinya. Mahmûd Tahan, Taisîr Mustalah al-Hadîts, h. 22.

[3] Mahmûd Tahan, Taisîr Mustalah al-Hadîts, h. 22.

[4] Lihat kamarudin Amin, Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis, (Jakarta: Penerbit Hikamah, 2009), c. I, h. 44-45. Hendy Defri Yanto, "Dikotomi mutawâtir-âhâd, (Skripsi S1, UIN, Jakarta, 2008), h. 91.

[5] Hasjim Abbas, Kritik Matan Hadis, h. 134.

[6] Hasjim Abbas, Kritik Matan Hadis, (Yogyakarta: Teras, 2004), h. 84.

[7] Mahmûd Thahan, Taisîr Musthalah al-Hadîts, h. 29.

[8] Ibnu Hajar al-‘Asqalâni, Nuzhat al-Nazar fi Syarh Nuhbat al-Fikr fi Mustalah ahl al-Atsar, (Kairo: Dâr al-Salâm, 2006), h. 61.

[9] Ibnu Hajar al-‘Asqalâni, Nuzhat al-Nazar, h. 61.

Minggu, 28 Desember 2008

WELCOME

SELAMAT DATANG DI KOMUNITAS TAFSIR HADIS INDONESIA
SEBUAH KOMUNITAS MASA DEPAN INSAN TAFSIR HADIS INDONESIA